Kebudayaan merupakan sebuah hal yang
dapat dijadikan ciri khas akan sebuah daerah. Kebudayaan bisa berupa kesenian
tari, lagu, bahasa, dll. Setiap daerah di Indonesia bisa dikatakan memiliki
kebudayaan yang khas. Begitu pula desa Pangsor.
Desa Pangsor, yang berada di kabupaten
subang, memiliki kebudayaan sunda yang cukup erat. Hal ini dapat dibuktikan
karena letak yang berada di provinsi Jawa Barat. Budaya sunda juga dapat
terlihat dari bahasa yang biasa digunakan oleh warga desa Pangsor adalah bahasa
sunda. Selain itu, budaya sunda juga dapat terlihat saat terdapat acara sakral,
mereka menggunakan konsep Kerajaan Padjadjaran.
Selain hal itu, di desa pangsor juga
memiliki banyak kebudayaan berupa kesenian yang ada dan pernah terjadi disini. Diantaranya
adalah sebagai berikut:
1. Sisingaan
Sisingaan merupakan kesenian atau budaya yang terdapat di Desa Pangsor. Sisingaan
atau Gotong Singa (sebutan
lainnya Odong-odong) merupakan
salah satu jenis seni pertunjukan rakyat Jawa
Barat, khas Subang
(di samping seni lainnya seperti Bajidoran
dan Genjring Bonyok)
berupa keterampilan memainkan tandu berisi boneka singa berpenunggang.
Dalam perkembangan bentuknya Sisingaan, dari bentuk Singa
Kembar yang sederhana, semakin lama disempurnakan, baik bahan maupun rupanya,
semakin gagah dan menarik. Demikian juga para pengusung Sisingaan, kostumnya
semakin dibuat glamour dengan warna-warna kontras dan menyolok. Musik
pengiringnya, sudah ditambahkan dengan berbagai perkusi lain, seperti bedug,
genjring dll. Begitu juga dengan lagu-lagunya, lagu-lagu dangdut popular
sekarang menjadi dominan. Dalam beberapa festival Helaran Sisingaan selalu
menjadi unggulan, masyarakat semakin menyukainya, karena itu perkembangannya
sangat pesat.
Di Subang diperkirakan ada 200 grup Sisingaan yang tersebar
di setiap desa, oleh karena itu Festival Sisingaan Kabupaten Subang yang
diselenggarakan setiap tahunnya, merupakan jawaban konkrit dari antusiasme
masyarakat Subang. Sisingaan menjadi salah satu jenis pertunjukan rakyat yang
disukai, terutama dalam acara-acara khitanan dan perkawinan. Sebagai seni
helaran yang unggul, Sisingaan dikemas sedemikian rupa dengan penambahan berbagai
atraksi.
Pertunjukan Sisingaan pada dasarnya
dimulai dengan tetabuhan musik yang dinamis. Lalu diikuti oleh permainan Sisingaan
oleh penari pengusung sisingaan, lewat gerak antara lain: Pasang/Kuda-kuda,
Bangkaret, Masang/Ancang-ancang, Gugulingan, Sepakan dua, Langkah mundur, Kael,
Mincid, Ewag, Jeblag, Putar taktak, Gendong Singa, Nanggeuy Singa, Angkat
jungjung, Ngolecer,Lambang, Pasagi Tilu, Melak cau, Nincak rancatan, dan
Kakapalan. Sebagai seni Helaran, Sisingaan bergerak terus mengelilingi kampung,
desa, atau jalanan kota. Sampai akhirnya kembali ke tempat semula. Di dalam
perkembangannya, musik pengiring lebih dinamis, dan melahirkan musik Genjring
Bonyok dan juga Tardug.
Ada beberapa makna yang terkandung
dalam seni pertunjukan Sisingaan, diantaranya:
- Makna sosial, masyarakat Subang percaya bahwa jiwa kesenian rakyat sangat berperan dalam diri mereka, seperti egalitarian, spontanitas, dan rasa memiliki dari setiap jenis seni rakyat yang muncul.
- Makna teatrikal, dilihat dari penampilannya Sisingaan dewasa ini tak diragukan lagi sangat teatrikal, apalagi setelah ditmabhakn berbagai variasi, seperti jajangkungan dan lain-lain.
- Makna komersial, karena Sisingaan mampu meningkatkan kesejahteraan mereka, maka antusiasme munculnya sejumlah puluhan bahkan ratusan kelompok Sisingaan dari berbagai desa untuk ikut festival, menunjukan peluang ini, karena si pemenang akan mendapatkan peluang bisnis yang menggiurkan, sama halnya seperti seni bajidoran.
- Makna universal, dalam setiap etnik dan bangsa seringkali dipunyai pemujaan terhadap binatang Singa (terutama Eropa dan Afrika), meskipun di Jawa Barat tidak terdapat habitat binatang Singa, namun dengan konsep kerkayatan, dapat saja Singa muncul bukan dihabitatnya, dan diterima sebagai miliknya, terbukti pada Sisingaan.
- Makna Spiritual, dipercaya oleh masyarakat lingkungannya untuk keselamatan/ (salametan) atau syukuran.
Di daerah Pangsor Subang ini, apabila ada acara khitanan atau nikahan di
Pangsor jarang yang melakukan tradisi sisingaan ini. Akan tetapi sisingaan ini
dijadikan kegiatan rutin untuk anak-anak balita di beberapa PAUD yang berada di
desa Pangsor. Agar anak-anak dapat mengenal tradisi yang sudah berjalan di
jaman dulu. Di laksanakannya sisingaan yang di lakukan anak-anak ini hanya
untuk adanya acara yang perlu ada persembahan atau penampilan anak-anak.
Kurangnya pengenalan tradisi sisingaan yang sudah ada ini di akibatkan desa
Pangsor ini sudah mulai mengikuti tradisi modern yang ada.
2. Genjring Bonyok
Ternyata desa Pangsor pernah menjadi
sejarah akan lahirnya kebudayaan sunda. Kebudayaan tersebut dapat disebut
sebagai Genjring bonyok. Kedudayaan ini adalah jenis kesenian yang tumbuh dan
berkembang di Kabupaten Subang. Alat musik utama yang dipergunakan adalah bedug
dan genjring.
Pengertian Genjring Bonyok asal mula
dari Genjring dan Bonyok. Genjring adalah waditra berkulit yang memakai semacam
anting-anting terbuat dari besi atau perunggu sebagai penghias seperti rebana.
Sedangkan Bonyok adalah nama daerah di desa Pangsor Kecamatan Pagaden Kabupaten
Subang. Genjring bonyok artinya kesenian Genjring yang awal mulanya berada di
daerah Bonyok. Genjring bonyok lahir sebelum kemerdekaan, yakni pada masa
keberadaan perkebunan P & T Lands. Pada waktu itu Kampung Bonyok atau
wilayah Desa Pangsor dikenal dengan daerah kontrak. Selain itu ada beberapa
jenis kesenian yang berkembang antara lain kendang penca, ketuk tilu, wayang
golek.
Alat musik atau waditra yang
dipergunakan pada awalnya hanya menggunakan sebuah bedug, tiga buah genjring.
Kemudian genjring bonyok mengalami perkembangan dengan menambahkan, memadukan alat
musik lain seperti terompet, gendang, goong, kulanter. Seniman yang berperanan
penting dalam mendirikan dan mengembangkan genjring bonyok adalah Talam dan
Sutarja. Mereka membuat kreasi dalam setiap pertunjukan, sehingga kesenian ini
semakin dikenal masyarakat. Jauh sebelum Genjring bonyok lahir, di kampung
Bunut Desa Pangsor Kecamatan pagaden telah ada kesenian genjring yang dipimpin
oleh Sajen. Kesenian ini merupakan cikal bakal lahirnya Genjring Bonyok.
Keberadaan Genjring Bonyok erat hubungannya dengan perjalanan hidup Sutarja yang telah bermain dengan Genjring sejak tahun 1963. Waktu itu ia bermain genjring bersama rombongan Genjring yang dipimpin oleh Sajen (pamannya). Dalam rombongan tersebut ia memegang genjring nomor 1 yang merupakan komando bagi alat musik lainnya. Karena Sajen sudah tidak sanggup lagi untuk memimpin rombongan kesenian tersebut, maka sejak tahun 1965 kepemimpinan rombongan kesenian tersebut diserahkan kepada Sutarja.
Sutarja dan kawan-kawan sering mengadakan pertunjukan di Pusaka Nagara dan Pamanukan. Di daerah tersebut Sutarja sering melihat pertunjukan Adem ayem yang perangkat musiknya sama dengan kesenian genjring yang dipimpin oleh Sutarja yaitu tiga buah genjring dan sebuah bedug. Perbedannya musik Adem Ayem yang lebih dinamis dan komunikatif dengan menyajikan lagu-lagu untuk mengiringi tarian dan atraksi akrobatik, sedangkan pertunjukan kesenian yang dipimpin oleh Sutarja waktu itu hanya menyajikan lagu-lagu seperti Siuh, Gederan dan Gotrok. Terinspirasi oleh musik adem ayem tersebut muncul keinginan Sutarja untuk mengembangkan seni genjring yang dipimpinnya. Disusunlah motif-motif tabuh genjring yang mirip dengan genjring adem ayem. Demikian juga lagu-lagu yang disajikannya dipakai lagu-lagu Adem ayem dan tarompet sebagai pembawa melodi dan goong sebagai pengantar wiletan. Sekitar tahun 1968, terbentuklah kesenian genjring Baru dengan garapan musikalnya berbeda dengan genjring sebelumnya. Menurut keterangan beberapa narasumber, pada awalnya masyarakat Pagaden menyebut kesenian ini genjring Bonyok. Disebut demikian karena dalam pementasan penarinya selalu banyak dan dalam menarinya ngaronyok (berkumpul). Dalam perkembangan selanjutnya ada juga yang menyebut kesenian Genjring Bonyok karena menganggap kesenian tersebut lahir di daerah Bonyok. Baru-baru ini muncul sebutan yang lain yaitu Tardug. Tardug merupakan akronim dari Gitar dan bedug Kesenian tardug sebenarnya genjring bonyok juga, hanya alat musiknya ditambah gitar melodi untuk mengiringi lagu dangdutan.
Keberadaan Genjring Bonyok erat hubungannya dengan perjalanan hidup Sutarja yang telah bermain dengan Genjring sejak tahun 1963. Waktu itu ia bermain genjring bersama rombongan Genjring yang dipimpin oleh Sajen (pamannya). Dalam rombongan tersebut ia memegang genjring nomor 1 yang merupakan komando bagi alat musik lainnya. Karena Sajen sudah tidak sanggup lagi untuk memimpin rombongan kesenian tersebut, maka sejak tahun 1965 kepemimpinan rombongan kesenian tersebut diserahkan kepada Sutarja.
Sutarja dan kawan-kawan sering mengadakan pertunjukan di Pusaka Nagara dan Pamanukan. Di daerah tersebut Sutarja sering melihat pertunjukan Adem ayem yang perangkat musiknya sama dengan kesenian genjring yang dipimpin oleh Sutarja yaitu tiga buah genjring dan sebuah bedug. Perbedannya musik Adem Ayem yang lebih dinamis dan komunikatif dengan menyajikan lagu-lagu untuk mengiringi tarian dan atraksi akrobatik, sedangkan pertunjukan kesenian yang dipimpin oleh Sutarja waktu itu hanya menyajikan lagu-lagu seperti Siuh, Gederan dan Gotrok. Terinspirasi oleh musik adem ayem tersebut muncul keinginan Sutarja untuk mengembangkan seni genjring yang dipimpinnya. Disusunlah motif-motif tabuh genjring yang mirip dengan genjring adem ayem. Demikian juga lagu-lagu yang disajikannya dipakai lagu-lagu Adem ayem dan tarompet sebagai pembawa melodi dan goong sebagai pengantar wiletan. Sekitar tahun 1968, terbentuklah kesenian genjring Baru dengan garapan musikalnya berbeda dengan genjring sebelumnya. Menurut keterangan beberapa narasumber, pada awalnya masyarakat Pagaden menyebut kesenian ini genjring Bonyok. Disebut demikian karena dalam pementasan penarinya selalu banyak dan dalam menarinya ngaronyok (berkumpul). Dalam perkembangan selanjutnya ada juga yang menyebut kesenian Genjring Bonyok karena menganggap kesenian tersebut lahir di daerah Bonyok. Baru-baru ini muncul sebutan yang lain yaitu Tardug. Tardug merupakan akronim dari Gitar dan bedug Kesenian tardug sebenarnya genjring bonyok juga, hanya alat musiknya ditambah gitar melodi untuk mengiringi lagu dangdutan.
Untuk saat ini, kami juga sudah
mencoba untuk mencari kebudayaan ini tetapi kami tidak menemukannya. Kami sudah
bertanya kepada ibu kepala desa dan pak RW di desa pangsor dan mereka hanya
mengatakan bahwa dulu memang ada sekarang sudah tidak jalan karena tidak
memiliki biaya. Kebudayaan itu juga sudah dibawa ke Bandung dan dijadikan
kebudayaan sunda.
3.
Wayang golek
Pertunjukan
wayang golek adalah sebuah kebudayaan khas sunda yang sering kita temui di
tanah sunda. Pertunjukan ini dapat ditemui di desa Pangsor setahun sekali. Hal
ini dikarenakan pertunjukan itu bertujuan untuk memakmurkan hasil panen agar
menjadi lebih baik. Pertunjukan ini memang biasa dilaksanakan saat musim mau
panen sehingga pertunjukan ini menajdi kebudayaan desa pangsor yang wajib
disaksikan oleh seleuruh warga desa pangsor khususnya.
Acara memperingati Maulid Nabi Muhammad S.A.W
salah satu grup sisingaan yg berada didesa Pangsor
Dokumentasi sisingaan tahun 2012 didesa Pangsor
Tidak ada komentar:
Posting Komentar