Rabu, 27 Februari 2013

Kebudayaan di Desa Pangsor


Kebudayaan merupakan sebuah hal yang dapat dijadikan ciri khas akan sebuah daerah. Kebudayaan bisa berupa kesenian tari, lagu, bahasa, dll. Setiap daerah di Indonesia bisa dikatakan memiliki kebudayaan yang khas. Begitu pula desa Pangsor.
Desa Pangsor, yang berada di kabupaten subang, memiliki kebudayaan sunda yang cukup erat. Hal ini dapat dibuktikan karena letak yang berada di provinsi Jawa Barat. Budaya sunda juga dapat terlihat dari bahasa yang biasa digunakan oleh warga desa Pangsor adalah bahasa sunda. Selain itu, budaya sunda juga dapat terlihat saat terdapat acara sakral, mereka menggunakan konsep Kerajaan Padjadjaran.
Selain hal itu, di desa pangsor juga memiliki banyak kebudayaan berupa kesenian yang ada dan pernah terjadi disini. Diantaranya adalah sebagai berikut:
1.      Sisingaan
Sisingaan merupakan kesenian atau budaya yang terdapat di Desa Pangsor. Sisingaan atau Gotong Singa (sebutan lainnya Odong-odong) merupakan salah satu jenis seni pertunjukan rakyat Jawa Barat, khas Subang (di samping seni lainnya seperti Bajidoran dan Genjring Bonyok) berupa keterampilan memainkan tandu berisi boneka singa berpenunggang.
Dalam perkembangan bentuknya Sisingaan, dari bentuk Singa Kembar yang sederhana, semakin lama disempurnakan, baik bahan maupun rupanya, semakin gagah dan menarik. Demikian juga para pengusung Sisingaan, kostumnya semakin dibuat glamour dengan warna-warna kontras dan menyolok. Musik pengiringnya, sudah ditambahkan dengan berbagai perkusi lain, seperti bedug, genjring dll. Begitu juga dengan lagu-lagunya, lagu-lagu dangdut popular sekarang menjadi dominan. Dalam beberapa festival Helaran Sisingaan selalu menjadi unggulan, masyarakat semakin menyukainya, karena itu perkembangannya sangat pesat.
Di Subang diperkirakan ada 200 grup Sisingaan yang tersebar di setiap desa, oleh karena itu Festival Sisingaan Kabupaten Subang yang diselenggarakan setiap tahunnya, merupakan jawaban konkrit dari antusiasme masyarakat Subang. Sisingaan menjadi salah satu jenis pertunjukan rakyat yang disukai, terutama dalam acara-acara khitanan dan perkawinan. Sebagai seni helaran yang unggul, Sisingaan dikemas sedemikian rupa dengan penambahan berbagai atraksi.
Pertunjukan Sisingaan pada dasarnya dimulai dengan tetabuhan musik yang dinamis. Lalu diikuti oleh permainan Sisingaan oleh penari pengusung sisingaan, lewat gerak antara lain: Pasang/Kuda-kuda, Bangkaret, Masang/Ancang-ancang, Gugulingan, Sepakan dua, Langkah mundur, Kael, Mincid, Ewag, Jeblag, Putar taktak, Gendong Singa, Nanggeuy Singa, Angkat jungjung, Ngolecer,Lambang, Pasagi Tilu, Melak cau, Nincak rancatan, dan Kakapalan. Sebagai seni Helaran, Sisingaan bergerak terus mengelilingi kampung, desa, atau jalanan kota. Sampai akhirnya kembali ke tempat semula. Di dalam perkembangannya, musik pengiring lebih dinamis, dan melahirkan musik Genjring Bonyok dan juga Tardug.
Ada beberapa makna yang terkandung dalam seni pertunjukan Sisingaan, diantaranya:
  • Makna sosial, masyarakat Subang percaya bahwa jiwa kesenian rakyat sangat berperan dalam diri mereka, seperti egalitarian, spontanitas, dan rasa memiliki dari setiap jenis seni rakyat yang muncul.
  • Makna teatrikal, dilihat dari penampilannya Sisingaan dewasa ini tak diragukan lagi sangat teatrikal, apalagi setelah ditmabhakn berbagai variasi, seperti jajangkungan dan lain-lain.
  • Makna komersial, karena Sisingaan mampu meningkatkan kesejahteraan mereka, maka antusiasme munculnya sejumlah puluhan bahkan ratusan kelompok Sisingaan dari berbagai desa untuk ikut festival, menunjukan peluang ini, karena si pemenang akan mendapatkan peluang bisnis yang menggiurkan, sama halnya seperti seni bajidoran.
  • Makna universal, dalam setiap etnik dan bangsa seringkali dipunyai pemujaan terhadap binatang Singa (terutama Eropa dan Afrika), meskipun di Jawa Barat tidak terdapat habitat binatang Singa, namun dengan konsep kerkayatan, dapat saja Singa muncul bukan dihabitatnya, dan diterima sebagai miliknya, terbukti pada Sisingaan.
  • Makna Spiritual, dipercaya oleh masyarakat lingkungannya untuk keselamatan/ (salametan) atau syukuran.
Di daerah Pangsor Subang ini, apabila ada acara khitanan atau nikahan di Pangsor jarang yang melakukan tradisi sisingaan ini. Akan tetapi sisingaan ini dijadikan kegiatan rutin untuk anak-anak balita di beberapa PAUD yang berada di desa Pangsor. Agar anak-anak dapat mengenal tradisi yang sudah berjalan di jaman dulu. Di laksanakannya sisingaan yang di lakukan anak-anak ini hanya untuk adanya acara yang perlu ada persembahan atau penampilan anak-anak. Kurangnya pengenalan tradisi sisingaan yang sudah ada ini di akibatkan desa Pangsor ini sudah mulai mengikuti tradisi modern yang ada.

2.      Genjring Bonyok
Ternyata desa Pangsor pernah menjadi sejarah akan lahirnya kebudayaan sunda. Kebudayaan tersebut dapat disebut sebagai Genjring bonyok. Kedudayaan ini adalah jenis kesenian yang tumbuh dan berkembang di Kabupaten Subang. Alat musik utama yang dipergunakan adalah bedug dan genjring.
Pengertian Genjring Bonyok asal mula dari Genjring dan Bonyok. Genjring adalah waditra berkulit yang memakai semacam anting-anting terbuat dari besi atau perunggu sebagai penghias seperti rebana. Sedangkan Bonyok adalah nama daerah di desa Pangsor Kecamatan Pagaden Kabupaten Subang. Genjring bonyok artinya kesenian Genjring yang awal mulanya berada di daerah Bonyok. Genjring bonyok lahir sebelum kemerdekaan, yakni pada masa keberadaan perkebunan P & T Lands. Pada waktu itu Kampung Bonyok atau wilayah Desa Pangsor dikenal dengan daerah kontrak. Selain itu ada beberapa jenis kesenian yang berkembang antara lain kendang penca, ketuk tilu, wayang golek.
Alat musik atau waditra yang dipergunakan pada awalnya hanya menggunakan sebuah bedug, tiga buah genjring. Kemudian genjring bonyok mengalami perkembangan dengan menambahkan, memadukan alat musik lain seperti terompet, gendang, goong, kulanter. Seniman yang berperanan penting dalam mendirikan dan mengembangkan genjring bonyok adalah Talam dan Sutarja. Mereka membuat kreasi dalam setiap pertunjukan, sehingga kesenian ini semakin dikenal masyarakat. Jauh sebelum Genjring bonyok lahir, di kampung Bunut Desa Pangsor Kecamatan pagaden telah ada kesenian genjring yang dipimpin oleh Sajen. Kesenian ini merupakan cikal bakal lahirnya Genjring Bonyok.
Keberadaan Genjring Bonyok erat hubungannya dengan perjalanan hidup Sutarja yang telah bermain dengan Genjring sejak tahun 1963. Waktu itu ia bermain genjring bersama rombongan Genjring yang dipimpin oleh Sajen (pamannya). Dalam rombongan tersebut ia memegang genjring nomor 1 yang merupakan komando bagi alat musik lainnya. Karena Sajen sudah tidak sanggup lagi untuk memimpin rombongan kesenian tersebut, maka sejak tahun 1965 kepemimpinan rombongan kesenian tersebut diserahkan kepada Sutarja.
Sutarja dan kawan-kawan sering mengadakan pertunjukan di Pusaka Nagara dan Pamanukan. Di daerah tersebut Sutarja sering melihat pertunjukan Adem ayem yang perangkat musiknya sama dengan kesenian genjring yang dipimpin oleh Sutarja yaitu tiga buah genjring dan sebuah bedug. Perbedannya musik Adem Ayem yang lebih dinamis dan komunikatif dengan menyajikan lagu-lagu untuk mengiringi tarian dan atraksi akrobatik, sedangkan pertunjukan kesenian yang dipimpin oleh Sutarja waktu itu hanya menyajikan lagu-lagu seperti Siuh, Gederan dan Gotrok. Terinspirasi oleh musik adem ayem tersebut muncul keinginan Sutarja untuk mengembangkan seni genjring yang dipimpinnya. Disusunlah motif-motif tabuh genjring yang mirip dengan genjring adem ayem. Demikian juga lagu-lagu yang disajikannya dipakai lagu-lagu Adem ayem dan tarompet sebagai pembawa melodi dan goong sebagai pengantar wiletan. Sekitar tahun 1968, terbentuklah kesenian genjring Baru dengan garapan musikalnya berbeda dengan genjring sebelumnya. Menurut keterangan beberapa narasumber, pada awalnya masyarakat Pagaden menyebut kesenian ini genjring Bonyok. Disebut demikian karena dalam pementasan penarinya selalu banyak dan dalam menarinya ngaronyok (berkumpul). Dalam perkembangan selanjutnya ada juga yang menyebut kesenian Genjring Bonyok karena menganggap kesenian tersebut lahir di daerah Bonyok. Baru-baru ini muncul sebutan yang lain yaitu Tardug. Tardug merupakan akronim dari Gitar dan bedug Kesenian tardug sebenarnya genjring bonyok juga, hanya alat musiknya ditambah gitar melodi untuk mengiringi lagu dangdutan.
Untuk saat ini, kami juga sudah mencoba untuk mencari kebudayaan ini tetapi kami tidak menemukannya. Kami sudah bertanya kepada ibu kepala desa dan pak RW di desa pangsor dan mereka hanya mengatakan bahwa dulu memang ada sekarang sudah tidak jalan karena tidak memiliki biaya. Kebudayaan itu juga sudah dibawa ke Bandung dan dijadikan kebudayaan sunda.
3.      Wayang golek
    Pertunjukan wayang golek adalah sebuah kebudayaan khas sunda yang sering kita temui di tanah sunda. Pertunjukan ini dapat ditemui di desa Pangsor setahun sekali. Hal ini dikarenakan pertunjukan itu bertujuan untuk memakmurkan hasil panen agar menjadi lebih baik. Pertunjukan ini memang biasa dilaksanakan saat musim mau panen sehingga pertunjukan ini menajdi kebudayaan desa pangsor yang wajib disaksikan oleh seleuruh warga desa pangsor khususnya.


Acara memperingati Maulid Nabi Muhammad S.A.W
 salah satu grup sisingaan yg berada didesa Pangsor

 
Dokumentasi sisingaan tahun 2012 didesa Pangsor

Tidak ada komentar:

Posting Komentar